Sabtu, 30 Juli 2011

Minggu, 30 Januari 2011

CDI yang Cocok untuk mesin bore up

Mapping Pengapian Skutik Bore-up 150 cc, Lebih Maksimal Bila Timing Optimal

OTOMOTIFNET - Selain kualitas api, timing pengapian sangat mempengaruhi dalam pencapaian power maupun torsi yang optimal. Meski dapur pacu sudah dioprek ekstrem (termasuk bore-up), settingan mesin tepat, namun titik pengapian di tiap putaran mesin belum pas, hasilnya belum tentu bisa maksimal.

BANYAK FAKTOR

Makanya di kuda pacu kompetisi, mekanik umumnya mengganti otak pengapian yang timingnya bisa dimapping ulang atau sering disebut CDI programmable. Minimal pakai CDI model fiks yang kurva pengapiannya sudah diubah lebih advance di beberapa titik putaran mesin.

“Tapi hasilnya akan lebih baik lagi kalau pakai CDI programmable. Karena korekan mesin tiap motor beda-beda. Sehingga timing pengapiannya belum tentu sama atau pas dengan kebutuhan mesin jika pakai CDI tipe fiks,” kata Suar, mekanik BRT Racing.

Sebab, masih kata Suar, banyak faktor bisa pengaruhi timing pengapian. Misal kompresi, korekan (termasuk pembesaran kapasitas silinder) atau portingan mesin, ubahan kem, jetting karbu hingga pemakaian bahan bakar.

Toh, CDI model ini (programmable) untuk skutik sudah cukup banyak di pasaran. Paling mudah ditemui merek BRT tipe I-Max. Tertarik mengaplikasinya di skutik bore-up Anda? Tenang, Suar mau bagi-bagi tips buat mapping timing pengapiannya. Khususnya untuk Mio bore-up 150 cc.

Sebab dari hasil riset yang ia lakukan pada skutik Garputala dengan pembesaran kapasitas segitu, berhasil mengerek tenaga mesinnya hingga 14,6 dk dengan torsi mencapai hampir 13 Nm. Tanpa mengatur ulang timing pengapiannya, mungkin hasilnya tidak akan mencapai segitu.

Tapi sebelum memasuki tahap ini (remapping), pastikan settingan mesin sudah pas dulu. Dan untuk mendapat hasil lebih mantap lagi, sebaiknya penyetelan timing dilakukan sembari motor didyno. Karena perubahan tenaga dan torsi bisa ketahuan lewat grafik dynonya. Sehingga di mana letak kekurangannya, bisa akurat terlacak lalu diperbaiki timing pengapiannya.

Beda korekan, mapping-nya juga akan beda

“Tapi bisa juga kok tanpa dyno alias diuji langsung dengan cara merasakan akselerasi motor. Asalkan si joki peka mencermati di putaran berapa lari motornya terasa kurang,” tukasnya. Oh iya, soal pilihan CDI BRT I-Maxnya, kata Suar cukup tebus NEO I-Max 16 step seharga Rp 860 ribu.

Pada CDI ini, kurva pengapian bisa setting per 100 rpm. Kurva bawaannya untuk Mio standar di putaran 2.500 rpm disetting oleh PT Trimentari Niaga selaku produsennya di titik 32º sebelum TMA. Lalu beranjak ke 3.000 hingga sebelum 5.000 rpm, timingnya diset lebih maju 1º, yakni jadi 33º sebelum TMA. Kemudian di 6.000 sampai 6.700 rpm dibikin lebih maju 2º (jadi 35º).

Naik ke 6.800 – 7.000 rpm, timing diset 36º. Lalu di 7.100 dimundurin lagi 1º (jadi 35º). Sedang di 7.200 – 7.400 dibikin 36º, 7.600 rpm 34º, 7.700 – 9.000 rpm 35º, 9.200 hingga limit putaran diset 34º.

Sementara buat Mio bore-up 150 cc dengan spek piston BRT hi-dome berdiameter 57,25 mm, rasio kompresi 12,5:1, kem custom berdurasi 270º, klep in/out 27/25 mm dibarengi porting inlet dan exhaust plus pakai bahan bakar Pertamax Plus buat kompetisi matic race sebagai berikut.

Hingga putaran 2.500 rpm, timing diset 30º sebelum TMA. Lalu di 3.500 – 9.000 rpm dimajukan jadi 38º. Sementara masuk ke 9.500 – 10.000 dibikin 37º, lalu di 10.300 – 12.800 diset 36º. Sedang di 14.000 rpm dan seterusnya dimundurin lagi jadi 35º. “Ini hanya untuk acuan saja. Untuk korekan harian, mungkin timingnya tidak segitu. Tinggal diubah sampai didapat hasil maksimal,” wanti Suar.

Untuk penyetelan secara konvensional (tanpa dyno), lanjut Suar, patokan penyetelan timing di putaran bawahnya bila motor motor dirasakan kurang mengentak, yakni mulai dari 2.500 sampai di putaran 5.000. Sementara di putaran tengah dari 5.500 sampai 8.000 rpm. Selebihnya untuk putaran atas.

“Perubahan timing sebaiknya dilakukan secara bertahap per 1º. Bisa dimajukan atau dimundurin. Pokoknya sampai dirasakan lari motor jadi lebih baik,” terangnya.

Selamat mencoba!

Aturan Piston Untuk Mesin Bore-up

OTOMOTIFNET - Menambah performa tunggangan dengan cara menaikkan kapasitas silinder masih jadi cara most wanted bagi speedgoers. Melakukan proses boring-up itu perlu komponen pengganti macam piston, ring dan pin.

Agar proses bore-up tak berbiaya tinggi dan awet, perlu juga riset seputar pemilihan seher. “Butuh kecermatan tinggi dalam memilih komponen piston yang sesuai,” tutur Miekeel dari MC Racing di Jl. Kebon Jeruk, Jakbar.

PILIH DIAMETER YANG SESUAI

Diameter piston motor bermain di kisaran 52-56 mm. Dinding liner (boring) yang tersisa, biasanya juga cukup tebal sehingga penggantian diameter piston yang lebih besar masih sanggup.
Contoh Piston Kawasaki Kaze ZX130 yang berdiameter 53 mm, masih bisa dijejali piston Kaze Blitz Joy 125 atau Piston Honda Sonic 125 berdiameter 56 mm.

Kualitas OEM hingga aftermarket tersedia di pasar

Lakukan riset yang akurat agar biaya tak membengkak

Pemilihan komponen yang pas bisa bikin mesin awet
Tanpa harus modifikasi crankcase, kapasitas kontan naik jadi 145 cc. Enaknya lagi, karena pin piston sama-sama 13 mm, penggantian bak overhaul biasa.
Namun, bila piston pengganti tak tersedia dari pabrikan yang sama, sudah banyak yang punya substitusinya.

MC Racing dan JP Racing merupakan suplier piston yang cukup lengkap. Dari merek Hi-Speed, LHK, RRGS, BRT hingga genuine parts Yamaha dan Honda tersedia lengkap. Perhitungan bore-up tak hanya mengukur diameter piston saja. Diameter pin piston dan jarak dari center pin piston ke top piston juga harus dipertimbangkan.

Apalagi kalau proyeknya masih seputaran bore-up harian yang enggan melakukan banyak rombakan. Kenali dulu data penting dari mesin tunggangan kesayangan agar pemilihan komponen tidak salah. Semisal Yamaha Mio dan Nouvo yang mengaplikasi pin piston 14 mm, bisa memakai piston Suzuki Shogun dan sebagainya.

Sementara Kawasaki dan Honda bebek memanfaatkan pin 13 mm. Ada lagi pin piston berdiameter 15 dan 16 mm. Untuk aplikasi harian, usahakan pemilihan piston yang hanya merombak diameter boring. Selebihnya upayakan piston aftermarket yang punya pin piston sama dengan bawaan motor.

Maksudnya jelas, agar hasil rombakan bisa awet dan tak mengubah konstruksi keseluruhan mesin.
“Kecuali mau main ekstrem, pin piston dan tinggi center pin ke top bisa divariasi karena nantinya bisa menyesuaikan sama adaptor blok dan stroker pin,” jelas Mariasan Kocex dari JP Racing di Bintaro.

Pilihan diameter piston aftermarket dari 58,5 mm hingga 73 mm. Bahkan, bagi yang mau kualitas piston kelas pabrikan, bisa adopsi piston asli moge Yamaha atau special engine Honda yang banderolnya bisa mencapai Rp 1,5 juta per buah.
Sementara piston aftermarket asal Thailand biasa dibanderol Rp 350-375 ribu (lengkap, ring dan pin piston).
Table piston untuk Bore-Up
Pin piston 13 mm (diameter 56-66 mm)
Kawasaki Kaze-R, Blitz-R, ZX130, Honda Sonic, Vario, Beat
Pin piston 14 mm (diameter 59 - 65,5 mm)
Suzuki Smash,Shogun,Spin,Skywave,Skydrive,Thunder 125
Pin piston 15mm (diameter 57-73 mm)
Yamaha Mio/Nuovo,Honda CBR150,Tiger/Mega-Pro,Kawasaki KLX150
Pin piston 16mm (diameter 64-73)
Yamaha Scorpio

Rabu, 13 April 2011

menambah usulan sedikit untuk bore up an mio 150cc

"Pertama dengan murni menaikkan diameter piston Mio yang standarnya 50 mm. Langkah berikutnya dengan memadukan pembesaran diameter piston dengan memperpanjang langkah,” terang Aldhie, mekanik sekaligus pemilik Bike.rider Shop di Kalimalang, Jaktim.

Pakai Piston 57 mm
Untuk cara pertama, ukuran piston yang bisa dipakai melengserkan standar Mio, yang berdiameter 57 mm. Dengan perhitungan (1/4 x 3,14 x(57)² x 57,9): 1000, maka didapat kapasitas mesin Mio sekarang jadi 147,67 cc.

Menjejalkan piston gede, bikin liner standar juga mesti dirumahkan. “Gantinya liner yang sesuai sama piston itu, misal pakai punya Suzuki Thunder 125,” kata pria berkulit putih ini.

Selain bawaan Thunder 125, piston Honda GL Neo Tech & Yamaha V-Ixion bisa dipakai buat naikkan cc Mio. Oh ya, enggak hanya boringnya yang mesti diganti saat mengapliaski cara pertama ini.

Khusus pakai piston Thunder dan V-Ixion, penyesuaian pada diameter pin juga mesti dilakukan. Pasalnya bawaan Mio 15 mm dan pin Thunder juga V-Ixion 14 mm.
Butuh pengerjaan 5 sampai 7 hari

Perbesar Piston + Naik Stroke
Langkah kedua ini, kombinasi nambah diameter piston dengan menjejalkan yang ukuran 54,5. Sedang buat tambah panjang langkah, ukuran total 6 mm (sesuai aturan maksimal naik stroke) dianggap yang paling pas. Pasalnya bila dimasukkan ke dalam rumus, hasil perkalian dan pembagiannya ketemu kapasitas mesin jadi 148,99 cc.

Dibanding hanya dengan menaikkan kapasitas mesin, pengerjaan pada langkah ke-2 ini lebih lama. “Karena mesti ada prosesi belah mesin buat pasang stroker baru,” urai Joko, mekanik dari Pakde Motor di Depok, Jabar.

Aplikasi ini tak perlu pakai ganti boring, namun penyesuaian pin perlu dilakukan pada beberapa piston yang bisa digunakan. Seperti seher bawaan Yamaha Jupiter dan Kawasaki Kaze yang diameternya 13 mm. Kalau pasangnya piston Suzuki Shogun atau Yamaha Jupiter MX, gak perlu ganti pin

Jumat, 08 April 2011

Ada 2 Pilihan Piston

OTOMOTIFNET - Sebagai jantung dari mesin, piston memiliki peran penting soal tenaga yang dihasilkan. Dengan kompresi yang dibuatnya, ledakan campuran bahan bakar pun akan memanfaatkan piston sebagai satu-satunya sumber penggerak di mesin.

Memang kerjanya cukup berat, bahkan untuk keperluan meningkatkan performa lebih dahsyat, piston pun memerlukan perlakuan berbeda. Salah satunya lewat mengganti bentuk seher dengan permukaan lebih cembung alias piston dome atau jenong.



Kubah silinder, volume ruang kompresi berada di sini

Piston flat, relatif kompresi kurang dari 10:1


Ketinggian dome diukur dari bibir piston (pake sigmat)
Tujuannya agar kompresi yang dihasilkan lebih tinggi. Sebab dengan permukaan piston yang lebih menonjol volume ruang kompresinya pun semakin sempit sehingga tekanannya menjadi lebih besar. Dengan begitu Rasio kompresinya pun meningkat.

Menurut Akiang, dari Rudi Jaya Motor di Jl. Ciputat Raya, rasio kompresi penggunaan piston jenong ini bisa mencapai 15:1. Tentu di bawah itu pun bisa juga. "Bisa disesuaikan sama rasio kompresi yang diinginkan," ujarnya.

Untuk mengetahuinya bisa dilakukan dengan buret. "Jadi dengan kondisi kepala silinder terpasang dan piston berada pada Titik Mati Atas, lantas diburet," ujarnya. Dari sana cairan yang masuk akan diketahui berapa cc isi dari ruang kompresinya (buret).

Setelah diketahui berapa cc dari buret tadi, akan didapat rasio kompresinya. Dengan perhitungan Rasio kompresi = (volume mesin + volume buret) : volume buret. Sementara volume mesin didapat dari perhitungan Volume mesin = 0,785 x diameter piston x diameter piston x langkah piston.

Misal piston berdiameter 54 mm, dengan langkah 62 mm, berarti volumenya 0,785 x 54 x 54 x 62 = 142 cc. Lalu setelah diketahui volume buret adalah 15,9 cc, maka rasio kompresinya (142+2) : 15,9 = 9:1 itu dalam kondisi standar.

Jika ingin menaikkan kompresinya, misalkan menjadi 13:1 maka diperlukan volume ruang kompresi yang berbeda. "Di sana diperlukannya piston jenong," tutur Akiang. Maka diperlukan ruang kompresi 142/(13-1)= 11,8 cc. Dari sana bisa ditentukan piston jenongnya, diukur menggunakan buret juga dengan cara sama.

Jadi, dalam memilih piston jenong tak bisa asal jenong saja, mesti dicocokkan dengan volume mesinnya dulu. "Di pasaran ketinggian dome pun berbeda-beda, tergantung cc (volume, red) mesinnya," ungkap Akiang.

Misalkan pada motor 110 cc, ketinggiannya 5 mm, sementara untuk 125 hanya 3 mm saja. "Untuk mengukur ketinggian dome-nya diukur dari bibir piston," ujarnya. Sementara untuk memilih piston yang berkualitas, menurut lelaki yang memiliki tim balap itu, bisa dengan mencari referensi pengguna yang sudah memakai piston itu.

"Kualitas piston ini memang baru ketahuan setelah dicoba dulu," katanya. Misal dalam ajang balap, dengan kondisi yang tentunya cukup ekstrem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar